Jakarta Selatan, SURYAPOS.id – Dalam perspektif akademis, Sejarah merupakan politik masa lalu dan politik adalah Sejarah bagi masa depan. Dalam kajian Sejarah, ada tokoh yang dilahirkan oleh Sejarah, tapi ada juga tokoh yang melahirkan sebuah Sejarah.
Sejarah panjang bangsa dan negara Indonesia, tidak terlepas dari perspektif dan kajian tersebut. Termasuk diantaranya Sejarah pendudukan kolonial yang tidak hanya memporak porandakan pranata sosial dan adat budaya bangsa, tapi juga membelah geografi juga demografi di gugusan pulau-pulau terindah di dunia ini.
Kedatangan bangsa Eropa ke bumi Nusantara banyak meninggalkan sayatan luka mendalam. Inggris, Belanda, dan Portugis membelah Nusantara menjadi sekian banyak
garis batas yang kemudian menjadi cerita penuh emosi dikemudian hari.
Salah satunya adalah kisah daerah di timur pulau Timor Nusa Tenggara. Sejak kemerdekaan bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, bekas wilayah jajahan Belanda kemudian membentuk sebuah negara bernama Republik Indonesia. Wilayah lain yang diduduki selain Belanda tetap dikendalikan oleh negara penjajahnya dan merdeka di kemudian hari seperti Malaysia, Singapura dan Brunei yang berada dibawah kendali Inggris.
Kondisi tersebut tidak terjadi di wilayah kendali Portugis yang berada di belahan timur pulau Timor Nusa Tenggara. Wilayah ini tetap berada dalam kekuasaan Portugis hingga terjadinya krisis di awal dekade 70-an yang menimbulkan perang saudara di wilayah tersebut.
Baca juga: Program Unggulan Pemerintah Pusat PIP, Gunungkidul dapat Kuota 16.000 Siswa
Singkat cerita, melalui Deklarasi Balibo 30 Nopember 1975, rakyat wilayah tersebut menyatakan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi provinsi ke 27 dengan nama Provinsi Timor Timur.
Cerita di tanah Lorosae tidak berhenti disini. Ada kelompok lain di Timor Timur yang menolak berintegrasi ke dalam NKRI, maka sejak saat itu pemberontakan dan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia semakin masif dan penuh warna. Selain operasi militer (Operasi Seroja) yang melibatkan ABRI (TNI/Polri), berbagai elemen masyarakat juga ditugaskan oleh negara untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan di provinsi muda tersebut.
ASN, professional dan mahasiswa termasuk Resimen Mahasiswa, dengan penuh dedikasi dan keikhlasan bahu membahu membangun Timor Timur agar setara dengan wilayah lain di Indonesia yang sudah lebih dulu menikmati angin kemerdekaan.
Di tahun 1999, krisis ekonomi dan politik di tanah air akhirnya mengubah tatanan pemerintahan Indonesia. Salah satunya adalah lepasnya provinsi Timor Timur dari NKRI akibat jajak pendapat yang digelar dimasa awal reformasi itu. Rakyat Timor Timur memilih Merdeka dan menjadi negara baru dengan nama Republik Demokrasi Timor Leste.
Sebagian warga Timor Timur juga banyak memilih untuk tetap menjadi bagian dari NKRI, maka terjadi eksodus saat itu dan mereka kini tersebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Bagi siapapun yang pernah terlibat dalam sejarah di Timor Timur, baik TNI/Polri, ASN, Resimen Mahasiswa maupun penduduk asli yang kemudian tetap menjadi warga negara Indonesia, Sejarah tersebut bukan bagian dari politik, tapi lebih kepada kenangan heroik dengan segala warna yang menyertainya. Ada kebahagiaan yang berlimpah, tapi juga tak sedikit duka yang tetap menjadi luka yang menyayat.
Cerita yang terpendam hampir seperempat abad itulah kemudian mendorong Ika Menwa Seroja Timor Timur, sebuah organisasi yang menyatukan anggota Resimen Mahasiswa yang pernah ditugaskan di sana sejak tahun 1978 hingga 1999 berkolaborasi dengan Forum Komunikasi Pejuang Timor Timur (FKPTT), organisasi yang juga menyatukan eks pejuang integrasi dan warga Timor Timur yang menjadi WNI untuk menggelar pertemuan di Jakarta, pada Sabtu (21/09/2024), dengan tajuk Temu Kangen Eks Timor Timur.