01Agustus 2022
Yogyakarta SURYAPOS – Mengenal lebih dekat Pahlawan Perjuangan yang selalu menentang adanya penjajahan di tanah air Pangeran Diponegoro Beliau merupakan putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo, lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai orang yang selalu menentang keberadaan Belanda di tanah air ini.Ia selalu mengobarkan semangat juang kepada para pemuda untuk berperang melawan penjajah.
Pangeran Diponegoro juga menjadi memimpin Perang Diponegoro atau disebut sebagai Perang Jawa. Perang ini merupakan pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara.
Perang tersebut terjadi karena Pangeran Diponegoro tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan,selain itu juga membuat para petani lokal menderita akibat penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman.
Di langsir dari berbagai sumber catatan sejarah, Van der Capellen mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.
Pangeran Diponegoro yang kala itu masih muda bertekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan. Pangeran Diponegoro juga semakin marah ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Beliau kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang.
Pada 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo, kediaman Diponegoro di kuasai dan dibakar.
Beliau beserta pengikutnya berhasil lolos karena lebih menguasai wilayah Tegalrejo, Beliau beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong daerah tepi barat Kabupaten Bantul.
Pangeran Diponegoro dan pasukannya kemudian dijadikan tempat tersebut sebagai markas besarnya,dari situlah strategi perang di susun ,Beliau menempati goa selarong sebelah barat atau Goa Kakung, yang menjadi tempat pertapaannya sedangkan para istrinya Raden Ayu Retnaningsih merupakan selir yang menemani setelah dua istrinya wafat) menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Pangeran Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang,memulai perang dengan semboyan “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”,
Sebagian besar pangeran pun mulai bergabung dengan Diponegoro, juga para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan pun dapat di ajak untuk bergabung perang melawan Belanda.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.
Pada Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang ,kemudian Pangeran Diponegoro melakukan perundingan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.
Kemudian Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Begitulah kisah perjuangan perang Diponegoro semoga dengan kisah ini selalu menumbuhkan semangat berjuang dalam membangun NKRI bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. Selamat menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77 , pada Tanggal 17 Agustus 2022 mendatang.(Edy )