Yogyakarta SURYAPOS – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yang diketuai oleh M Basir menjatuhkan putusan pada terdakwa Bripka Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi, pidana penjara selama 10 bulan serta dibebani untuk membayar Restitusi kepada korban Nurhadi sebesar Rp 13. 890.000 dan kepada saksi kunci F sebesar Rp 21.850.000, lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yakni 1 tahun 6 bulan berikut dengan Restitusi.
Menanggapi putusan dari Majelis Hakim PN Surabaya, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, M Agung Dharmajaya menuturkan pada sejumlah awak media seusai sidang putusan yang digelar di PN Surabaya pada, Selasa (12/01) menyampaikan jika, putusan ini sangat menarik dan akan menjadi atensi bagi Dewan Pers.
“Menarik karena putusannya tidak disertai dengan perintah penahanan oleh Majelis Hakim, meski kasusnya sudah jelas dan disertai dengan adanya kerugian oleh korban“, ujar Agung.
Meski demikian pihaknya akan menghormati putusan yang sudah dijatuhkan oleh Majelis Hakim PN Surabaya, sambil menunggu sikap dari JPU maupun Penasehat Hukum (PH) dari korban Nurhadi.
Sementara itu menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Herlambang P Wiratraman, dalam rilis tertulisnya yang diterima SURYAPOS, menuturkan jika ada 6 hal yang perlu diberikan catatan terkait dengan putusan dari Majelis Hakim PN Surabaya diantaranya adalah :
- Patut diapresiasi, karena menjadi bagian dari sejarah penegakan hukum Pers, pesan utamanya adalah mekanisme Peradilan membuktikan upaya akhiri Impunitas.
- Meskipun demikian, belum sepenuhnya memenuhi harapan publik, terutama berkaitan dengan konstruksi peristiwa hukum yang sebenarnya melibatkan begitu banyak pihak/aktor, termasuk aktor yang memerintahkan kekerasan, berikut hukuman yang dirasakan kurang optimal sebagaimana disebutkan dalam UU Pers.
- Hal yang penting dicatat, penggunaan kerangka hukum pasal 18 ayat (1) UU Pers yang selama ini jarang digunakan dalam proses penegakan hukum atas kasus-kasus kekerasan yang terjadi, PN Surabaya menunjukkan kualifikasi baik dalam memanfaatkan kerangka hukum tersebut.
- Hakim tidak menemukan alasan pembenar dan pemaaf, maka terdakwa harus bertanggung jawab secara hukum, Ratio Decidendi tegas dan lugas untuk menegaskan perlunya menghormati dan melindungi peran dan fungsi Jurnalis serta pentingnya jaminan kebebasan Pers.
- Pertimbangan kerugian atas penilaian Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), menjadi dasar untuk menjatuhkan putusan Hakim, ini perkembangan baik dan maju, mengakui mekanisme hukum kelembagaan Negara dalam melindungi korban dan saksi, ini bisa disimak dalam amar putusan.
- Putusan ini menjadi penanda kemenangan kebebasan Pers yang harus tetap dijaga, dihormati oleh semua pihak, tak terkecuali oleh aparat penegak hukum, agar tidak berlaku sewenang-wenang dalam kegiatan Jurnalistik, sebagaimana diakui UU Pers No 40 Tahun 1999.
Sementara itu menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudi pada sejumlah awak media, Kamis (13/01) menyampaikan jika, Vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim PN Surabaya masih setengah hati, karena hanya mengenakan pasal tentang penghalangan kerja Pers semata, dan luput mencakup kekerasan yang dilakukan oleh terdakwa.
“Putusan ini masih putusan setengah hati, kami masih melihat sebenarnya belum maksimal, yang sebenarnya masih sangat mungkin putusan ini untuk lebih dimaksimalkan”, ujar Ade.
Lebih lanjut disampaikan oleh Ade jika, JPU sebenarnya sudah menuntut terdakwa dengan lebih dari satu pasal yakni, pasal 18 ayat (1) UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers juncto pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) meski pada akhirnya Majelis Hakim memutuskan vonis yang berbeda dengan tuntutan dari JPU.
“Jika dilihat, bentuk penghalangnya sudah pasti artinya ada suatu tindakan lain, bentuk penghalangannya adalah dengan kekerasan, nah kekerasannya itu yang luput diperiksa oleh Majelis Hakim PN Surabaya”, pungkas Ade.