Yogyakarta suryapos.id Penangkapan Bupati Probolinggo oleh KPK pada Selasa (31/8) mengungkap betapa masih maraknya peluang korupsi ditengah era transparansi, banyaknya instrumen pengawasan baik dari Pemerintah maupun berbagai elemen masyarakat, tidak menyurutkan nyali para pemegang amanah rakyat untuk terus melanjutkan tradisi korupsi.
Bupati yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang diharapkan bisa membawa dan mewujudkan harapan rakyatnya, begitu mudahnya menciderai amanah ditengah kondisinya yang sudah dibilang diatas rata-rata, sebagai contoh Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dengan harta kekayaannya yang mencapai Rp 10.019.266.906,-.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Airlangga Iqbal Felesiano, menyampaikan pada awak media bahwa, keserakahan individu jadi salah satu penyebab kasus korupsi terus ada meskipun ditengah-tengah situasi pandemi seperti saat ini.
Lebih lanjut Iqbal menyampaikan bahwa, secara umum kasus korupsi terjadi akibat tiga faktor yang umum, yakni Kekuasaan, Kebutuhan dan Keserakahan, namun faktor Keserakahan merupakan faktor yang paling berbahaya.
“Perkembangan penanganan kasus korupsi di Indonesia ini sebenarnya sudah baik, namun dengan maraknya kasus korupsi, seolah-olah penangananya jalan ditempat”, ujar Iqbal.
Faktor longgarnya regulasi dan ringannya vonis tidak bisa menjadikan efek jera bagi para pelaku korupsi, maka diperlukan peran serta dan kepedulian masyarakat dalam mengawal setiap kebijakan Pemerintah.
“Kecenderungan yang ada saat ini untuk vonis pelaku Tipikor rangenya adalah 1.5 – 2.5 tahun, sehingga mendorong orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melakukan korupsi, belum ada efek jera saat ini yang bisa membuat orang kapok melakukan korupsi“, pungkas Iqbal.