Jakarta SURYAPOS – Kisruh dalam proses pengadaan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) guna pengisian slot 123 BT pada tahun 2015, sesaat setelah Satelit Garuda I, dilaporkan keluar dari orbit setelah diindikasikan mengalami kebocoran bahan bakar, sehingga pada saat itu Pemerintah merespon dengan cepat terkait kepemilikan slot 123 BT, dengan mengacu pada aturan Internasional Telecommunication Union, yang memberikan tenggat waktu selama 3 tahun untuk pengisian slot, apabila dalam tenggat waktu yang diberikan tidak dilakukan pengisian slot tersebut maka hak pengelolaan slot orbit tersebut akan gugur serta dapat dimanfaatkan oleh negara lain.
Menyikapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo menggelar Rapat Terbatas (Ratas) Khusus untuk membahas upaya penyelamatan slot orbit 123 BT, yang dianggap sangat penting tersebut, dan diharapkan untuk segera ditindaklanjuti terkait dengan detail anggaran, biaya hingga eksekusi pada penyelamatan slot orbit 123 BT.
Pada Desember 2015, Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengajukan permohonan pengisian slot orbit 123 BT, melalui Proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) dengan menyewa satelit Artemis milik Avanti Communication Limited, sebagai floater (satelit senentara pengisi orbit), dan Kominfo sendiri baru menerbitkan persetujuan penggunaan slot orbit 123 BT pada 29 Desember 2016, dan pada 25 Juni 2018, Kemenhan melakukan pengembalian hak pengelolaan slot orbit tersebut pada Kominfo.
Terkait dengan pengembalian hak pengelolaan slot orbit 123 BT tersebut, diketahui ternyata Kemenhan mempunyai tunggakan uang sewa satelit Artemis sebesar 16,7 juta US Dollar dari nilai kontrak sewa satelit sebesar 30 juta US Dollar.
Dugaan terjadinya pelanggaran hukum yang menyebabkan kerugian pada keuangan negara ini, berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang pengelolaan satelit untuk mengisi slot orbit 123 BT ini, disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada Kamis (13/01).
“Dugaan pelanggaran hukum yang menyebabkan terjadinya kerugian pada keuangan negara ini dilakukan dengan membuat kontrak dengan Avanti Communication Limited, juga dengan Airbus, Navayo, Detente, Hogan Lovells dan Telesat pada kurun waktu 2015 – 2016, yang mana saat itu anggarannya belum ada”, ujar Mahfud.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Mahfud jika, kerugian keuangan negara disebabkan jika, Pemerintah diharuskan untuk membayar sewa satelit Artemis, biaya arbitrase dan filling satelit senilai Rp 515 Miliar, sesuai dengan putusan dari London Court of International Arbitration pada Juli 2019, selain itu Pemerintah juga diharuskan membayar lebih dari 20 juta US Dollar kepada Navayo, sesuai dengan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura pada Mei 2021.
“Selain itu, Pemerintah juga berpotensi untuk digugat oleh Telesat hingga Detente”, pungkas Mahfud.
Sementara itu Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah menyampaikan jika status perkara terkait proyek Satelit Satkomhan, sudah ditingkatkan statusnya dari penyelidikan ke tingkat penyidikan, setelah didapatkan alat bukti dan hasil pemeriksaan dari 11 orang saksi yang terdiri dari pihak swasta, rekanan hingga pada beberapa orang dari Kemenhan.
“Surat Perintah Penyidikan sudah diterbitkan pada 14 Januari”, ujar Febrie.
Sementara itu Panglima TNI, Jenderal TNI Andika Perkasa menyampaikan jika, TNI akan mendukung penuh proses hukum yang akan dilakukan dalam kasus tersebut, terkait dengan nama-nama yang masuk dalam kewenangan TNI.
“Saya siap mendukung keputusan dari Pemerintah untuk melakukan proses hukum dari indikasi awal dugaan keterlibatan beberapa personil TNI”, ujar Andika pada sejumlah awak media di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung pada Jumat (14/01).