Jakarta SURYAPOS – Yusuf Blegur, seorang Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari, kembali menuliskan untuk pembaca SURYAPOS, terkait dengan viralnya moment Menteri Sosial Tri Rismaharini ketika memarahi salah seorang pendamping Bansos PKH di Gorontalo.
Menurut hemat pikir penulis yang sudah puluhan tahun aktif sebagai Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) di Dinas Sosial Kota Bekasi, hingga saat ini bersama Organisasi Kemitraan Kementerian Sosial seperti, TKSK, Tagana, Pendamping PKH, Karang Taruna, LLI dan lain lain, menggeluti dunia sosial dibawah naungan Kementerian Sosial, pada akhirnya berusaha mengerti dan memahami, bahwasanya penanganan masalah sosial pada Kemensos dengan spesialisasi mengurusi rakyat yang kehidupannya kurang beruntung itu, pada esensinya sering menjumpai birokrasi dan mentalitas di dalamnya jauh lebih susah dan bermasalah ketimbang rakyat kecil yang layaknya lebih perlu diprioritaskan.
Sosok Tri Rismaharini yang belakangan sering temperamen, sejatinya menarik untuk menjadi bahan refleksi sekaligus evaluasi, bukan saja buat Risma sendiri melainkan untuk para Menteri dan pejabat lainnya terkait bagaimana bersikap serta berinteraksi dengan lingkungan kerjanya, seketika Risma menyita perhatian publik, perangainya mengundang pro dan kontra, sebagian penuh kritik dan gugatan sebagian lain ada yang memaklumi dan mendukung kemarahan Menteri Sosial RI itu.
Berbekal Walikota Surabaya dua periode yang dinilai sukses dan berprestasi, Tri Rismaharini bisa dibilang sangat menguasai ruang lingkup birokrasi, sebagai pengambil keputusan, ia punya kemampuan untuk memenej program dan menghasilkan kebijakan publik yang lebih terarah dan terukur, begitupun sebaliknya, Risma terbiasa menghadapi masalah dan cara menghadapi.
Namun saat menjabat Menteri Sosial, beberapa kali Risma menunjukkan sikap yang tidak simpatik dan dianggap berlebihan, mulai dari marah kepada bawahan, bersujud di kaki seorang tenaga kesehatan, menyapu halaman Syeikh di Padang Pariaman dan masih banyak lagi kegiatan tak biasa seorang Menteri yang disorot kamera, dari semua itu yang paling banyak dan sering mendapat reaksi publik, saat Risma belakangan ini sering marah-marah dan menjadi viral.
Ada dua hal yang menarik behavior Risma seperti dalam kapasitas Menteri Sosial, boleh jadi ini merupakan representasi masalah yang sama para pejabat yang lainnya, termasuk memungkinkan pada seorang Presiden sekalipun.
Pertama, tetap terkait soal pencitraan, seiring era digitalisasi sama seperti pemburu tahta lainnya, Risma memanfaatkan medsos untuk menunjukkan siapa dirinya, dalam hal ini Risma menyadari betul konsekuensinya, aksinya di dunia maya itu bisa menjadi proses upgreding dan mendowngred figurnya, kader perempuan PDIP yang menjadi kesayangan Megawati Soekarno Putri, seperti berjudi mengharapkan mendapat apresiasi atau hujatan, tergantung respon opini publik, Risma siap apapun resiko yang terjadi.
Kedua, ini yang lebih substansif karena terkait masalah yang klasik dalam birokrasi Pemerintahan, fenomena Risma yang pernah didahului Ahok, persoalan yang berkorelasi dengan personal dan sistem, seperti yang dihadapi oleh negara ini sampai sekarang, mana yang lebih utama menjadi sebab kebaikan atau keburukan suatu negara, personal atau sistem ?.
Diluar urusan panjat sosial, perilaku Risma yang suka panjat darah itu ( marah-marah dan memaki), bisa diinterpretasikan sebagai sikap pemberontakannya terhadap sistem yang ada, khususnya terkait birokrasi di Kemensos, atau mungkin ini bentuk rasa frustasi dari begitu rusak dan bobroknya manajemen birokrasi yang menjadi leading sektor penanganan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Kemensos yang menjadi baik buruknya wajah Pemerintahan Negara dalam menangani masalah utamanya kemiskinan rakyat, memang terlanjur menyandang stigma Kementerian paling marak korupsinya, harusnya mengangkat tingkat kehidupan rakyat lebih baik dan menuju sejahtera, lembaga Pemerintah yang pernah dibubarkan Gus Dur saat menjadi Presiden ke 4 RI, malah menjadi ladang subur perampokan uang rakyat, Risma juga masih ingat saat koleganya yang sesama kader PDIP dan menjadi Menteri Sosial sebelumnya melakukan korupsi bansos di tengah pandemi, sebuah pengkhianatan wong cilik dari wong licik.
Betapapun Tri Rismaharini berada dalam pusaran itu, bisa ditarik konklusinya, bahwasanya Risma terlanjur terjebak diantara dia sebagai personal dan dia menjadi bagian dari sebuah sistem.
Dengan catatan prihatin dari banyaknya Menteri Sosial yang terjebak kasus korupsi sebelum Risma mendudukinya, Risma bukan saja dituntut mengelola karakter diri sendiri, lebih dari itu Risma harus menghadapi sistem dan birokrasi yang dipimpin partai politik tempat dia dibesarkan dan bernaung di dalamnya, sanggupkah Risma marah dan melawan atau memberontak daei keadaan dan sistem itu ?.
Tidak ada salahnya Tri Rismaharini, untuk menyimak Postulat ini, dalam sistem politik yang sudah rusak hingga ke akarnya, sulit untuk seseorang membenahi atau memperbaikinya, bahkan seseorang yang pikirannya baik dan suci sekalipun, ketika didalamnya ia akan menjadi bagian dari kerusakan sistem itu sendiri.
Untuk Tri Rismaharini, yang entah sedang membangun citra atau sedang memberontak dan tulus membangun serta memperbaiki sistem dalam Kemensos, kalau tidak sanggup melawan mainstream dan habit yang telah menjadi stelsel, mulailah dari diri sendiri, tentunya dengan sikap keteladanan, terutama dari hal yang sederhana, memancarkan atitude, sembari memberikan simpati dan empati, terlebih pada sekecil-kecilnya pegawai dan serendah-rendahnya orang.