Gunungkidul (DIY), SURYAPOS.id – Hamparan karst Gunungkidul sore itu terasa berbeda. Angin kering dari perbukitan tandus membawa gema gamelan dan riuh tawa warga yang memadati Lapangan Logandeng, Kalurahan Logandeng, Kapanewon Playen. Sabtu (11/10/2025), Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 resmi dibuka, mengangkat tema “Adoh Ratu, Cedhak Watu” atau “Jauh dari Raja, Dekat dengan Batu” sebuah filosofi yang merepresentasikan kemandirian dan kearifan masyarakat Gunungkidul.
Pembukaan Festival Kebudayaan Yogyakarta diawali kirab budaya yang melibatkan 4 Kabupaten dan 1 Kota, serta penampilan potensi budaya 18 kapanewon yang ada di Kabupaten Gunungkidul menjadi pembuka festival. Warga berjalan beriringan mengenakan busana adat, alat musik, hingga simbol-simbol tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Dari atas panggung, denting gamelan berpadu dengan tembang Jawa yang melantun lembut, seolah menyapa setiap langkah peserta kirab yang membawa kebanggaan akan jati diri lokal.
Baca juga: Korsleting Kipas Angin Picu Kebakaran, Tiga Kamar Kos Hangus
Direktur FKY, BM Anggana, mengatakan bahwa tema “Adoh Ratu, Cedhak Watu” merupakan lanjutan dari peta jalan lima tahunan FKY. Setelah tema “Pangan” di Kulonprogo (2023) dan “Benda” di Bantul (2024), tahun ini giliran “Adat Istiadat” yang menjadi ruh festival, dengan Gunungkidul sebagai tuan rumah.
“Gunungkidul dan adat istiadat adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Keduanya tumbuh bersama sejarah, diwariskan lintas generasi, dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat,” ujar Anggana dalam sambutannya.
Baca juga: Lansia Tewas Tertabrak Motor di Depan Pasar Ngangkruksari
Lebih jauh, ia menjelaskan makna filosofi tema tersebut. “Adoh Ratu” tidak sekadar menggambarkan jarak fisik dari pusat kekuasaan, melainkan kesadaran menjaga kemandirian komunitas dari dominasi kekuasaan yang terpusat. Sedangkan “Cedhak Watu” menandakan kedekatan masyarakat dengan tanah dan batuan karst yang menjadi ciri khas Gunungkidul simbol keteguhan, kesederhanaan, sekaligus kekuatan hidup.
“Tema ini bukan sekadar perayaan adat, tetapi refleksi tentang bagaimana masyarakat menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta,” tambah Anggana.
Dari sisi penyelenggara, panitia memastikan seluruh kegiatan FKY terbuka untuk umum tanpa dipungut biaya. “Kami ingin masyarakat dari berbagai lapisan bisa hadir dan merasakan langsung denyut kebudayaan,” ujar Anggana.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, mengatakan FKY 2025 menjadi momentum penting untuk memperkuat kebudayaan dari pinggiran. “Adoh Ratu, Cedhak Watu menegaskan bahwa kekuatan budaya tidak selalu lahir dari pusat kota. Justru dari desa, dari tanah karst, muncul nilai-nilai yang membentuk watak manusia Jawa,” ujarnya.
Baca juga: Tak Sekadar Bangun Jalan, TMMD Gunungkidul Eratkan TNI dan Warga Seperti Keluarga
Selain kirab, berbagai program lain turut digelar, mulai dari Pasaraya Adat, Jelajah Budaya, hingga FKY Rembug yang menjadi ruang diskusi tentang pelestarian budaya di era modern. Tak ketinggalan, program Gelaran Olah Rupa menghadirkan seniman dari berbagai daerah yang berkolaborasi dengan warga lokal dalam residensi seni. Dari pertemuan itu lahir karya yang berakar dari pengalaman hidup masyarakat, bukan semata dari imajinasi seniman.
Melalui Adoh Ratu, Cedhak Watu, Festival Kebudayaan Yogyakarta 2025 bukan hanya merayakan adat, tapi juga mengingatkan masyarakat untuk kembali berpijak pada tanah, pada sejarah, dan pada nilai-nilai yang membuat kebudayaan tetap hidup.