Catatan Senin Pagi, “Yogyakarta Memang Istimewa”.

Yogyakarta SURYAPOS – Viralnya unggahan di media sosial Facebook tentang mahalnya tarif parkir bus pariwisata di kawasan Malioboro beberapa hari yang lalu, mengagetkan berbagai fihak, bagaimana Yogyakarta yang dikenal dengan kota berbiaya hidup yang rendah dengan segala dinamika warganya yang dikenal grapyak lan semanak, secara tiba-tiba diperlihatkan sebuah kejadian yang menghentakkan jagad maya sekaligus dunia pariwisata nasional, bahkan bisa jadi santapan publik internasional, ketika kejadian tarif parkir Rp 350 ribu jadi konsumsi dunia maya dengan segala tanggapan dan reaksi netizen.

Yang tidak kalah hebohnya adalah ketika Wakil Walikota Yogyakarta, Heroe Poerwadi secara tiba-tiba akan membawa ke ranah hukum terkait dengan pengunggah postingan di Facebook, yang menuturkan betapa mahalnya sebuah biaya yang harus dikeluarkan untuk parkir selama 2,5 jam, di kawasan yang menjadi icon dari Kota Yogyakarta, yang dalam pandangan beliau ini merupakan sebuah upaya penodaan citra pariwisata di Kota Yogyakarta, yang dibangun dengan susah payah akan hancur hanya karena ada sebuah stigma, “Yogyakarta mahal parkirnya”, narasi pendek yang akan membuat efek berkepanjangan dari industri pariwisata, yang notabene merupakan penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Gudeg ini.

Kehebohan masih berlanjut saat beberapa elemen masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berikut beberapa warga masyarakat yang menyayangkan langkah yang akan diambil oleh Pemkot Yogyakarta, yang akan mempidanakan pengunggah postingan tarif parkir Rp 350 ribu, yang dalam pandangan mereka adalah merupakan wujud keluhan dari masyarakat, yang mengeluhkan mahalnya tarif parkir di Kota Yogyakarta, seharusnya malah dijadikan sebuah masukan bagi Pemkot Yogyakarta untuk membuat ataupun memperbaiki regulasi perparkiran yang ada, sehingga citra Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata dengan segala kelebihan dan keistimewaan di mata para wisatawan baik domestik maupun internasional, tidak ternodai oleh ulah oknum-oknum yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dengan memanfaatkan aji mumpung, mumpung lagi rame wisatawan, mumpung yang datang orang jauh, mumpung, mumpung, dan mumpung yang lain-lain, harapan besar terkait dengan ulah-ulah segelintir benalu dalam industri pariwisata di Kota Yogyakarta akan berakhir saat Polresta Yogyakarta pada Senin (17/05/2021) mengamankan 2 orang “juru parkir ilegal” di sekitar Gembiraloka Zoo, hingga kasusnya disidangkan di Pengadilan dalam kasus Tindak Pidana Ringan (Tipiring), apresiasi dan harapan besar saat itu diberikan oleh masyarakat, agar kedepannya tidak ada lagi praktik-praktik “nuthuk” di Kota Yogyakarta, namun sayang hal tersebut tidak bisa menjadi sebuah efek jera bagi oknum-oknum yang jadi benalu dalam industri pariwisata di Kota Yogyakarta, sudah waktunya Pemkot Yogyakarta mengurai benang kusut perparkiran di Kota Yogyakarta, berikut regulasi dan utamanya adalah pengawasan dari penerapan regulasi tersebut jauh lebih penting.

Kehebohan masih berlanjut saat Sabtu (22/01) Wawali Yogyakarta, menyampaikan jika Pemkot Yogyakarta secara tegas menyampaikan jika tidak akan menggugat pengunggah postingan tersebut, karena dari penelusuran yang dilakukan didapati jika pengunggah postingan viral tersebut bukan merupakan bagian dari yang melakukan mark up, justru yang bersangkutan adalah korban juga.

Jadi saat itu, saya menjawab di beberapa unggahan Instagram, jika saya memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih atas klarifikasi disertai dengan penjelasan kronologi dari kejadian tersebut, yang secara jelas posisinya juga menjadi korban sehingga saat itu juga saya sampaikan jika tidak ada rencana melakukan gugatan pada pihak pengunggah postingan tersebut”, ujar Heroe pada sejumlah awak media, Sabtu (22/01).

Apapun itu yang menjadi dasar untuk Pemkot Yogyakarta tidak melakukan gugatan pada pengunggah postingan viral tersebut, adalah sebuah sikap yang sangat bijaksana bahkan bisa dikatakan istimewa seperti Yogyakarta, yang juga sudah ditunjukkan oleh warga kotanya dalam dinamika kehidupan sehari-hari, tepo seliro, guyub rukun, olah roso masih begitu gampang ditemui ditengah era globalisasi saat ini, yang mana sifat-sifat seperti itu sudah sulit ditemui di kota-kota besar lainnya, di setiap sendi kehidupan masyarakat Yogyakarta sudah terpatri sebuah sifat urep kudu urub, bisa kita lihat mulai dari banyaknya lapak-lapak nasi gratis di seantero Yogyakarta, disediakannya sejumlah makanan saat kita beribadah sholat Jumat di masjid-masjid di sejumlah kawasan Kota Yogyakarta, bertaburannya relawan-relawan kebajikan untuk sesama, mulai dari pengkondisian trouble untuk pengguna jalan di malam hari hingga relawan-relawan kebajikan untuk hewan yang terlantar seperti kucing hingga pada sering kita lihat di jalan-jalan seantero Yogyakarta, tanpa memandang, “sopo kowe, seko ngendi”, ketika ada kendala kehabisan bensin atau mogok, berlomba-lomba para pejuang kebajikan membantu tanpa pamrih dan tanpa meminta imbalan sepeserpun, senyum lebih banyak digunakan di jalan raya ketika sesama pengguna jalan terlibat senggolan, bahkan di rampas haknya sebagai pengguna jalan, dan hal yang langka ini jarang ada di kota-kota besar lainnya.

Jadi saat mendengar Heroe Poerwadi akan mengambil langkah hukum bagi pengunggah postingan viral tersebut, sebuah pertanyaan terbersit dalam banyak benak masyarakat yang diwakili oleh berbagai elemen dan LSM, “Bener po kui pak Heroe Poerwadi meh nuntut ?”, namun kemarin pertanyaan diatas sudah dijawab secara tegas oleh Heroe Poerwadi, jika pihaknya tidak akan jadi melakukan gugatan tersebut, ini adalah sesuatu yang istimewa saat sebuah permasalahan diselesaikan dengan kearifan lokal Yogyakarta, sehingga akan didapatkan sebuah sikap seorang Pamomong Sejati.

Apresiasi dan terima kasih patut kita sampaikan pada Heroe Poerwadi atas langkah tepat dalam menyikapi permasalahan parkir Rp 350 ribu tersebut dan tentunya sebuah harapan agar kedepannya tidak terjadi lagi kasus-kasus serupa yang bisa membunuh industri pariwisata di Kota Yogyakarta serta segera dibuat sebuah regulasi yang mengatur serta sistem pengawasan di lapangan, sehingga Jogja Istimewa bukan hanya sebuah jargon, namun bisa di aplikasikan pada kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta.

Exit mobile version